OKU Timur, lenterainfo.com – Di tengah kesibukan Kantor Bupati OKU Timur, ada pemandangan kecil yang mengusik logika publik: sofa mewah berwarna coklat di depan ruang bupati tampak rapi dan berkilau tapi tak boleh diduduki.
Hari itu, kegiatan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) tengah berlangsung di Ruang Praja Satu. Sejumlah pejabat, tamu, dan wartawan hadir, termasuk Arman, jurnalis Palembang Ekspres yang datang meliput acara. Rabu (8/10/2025)
Saat hendak beristirahat sejenak di kursi tunggu depan ruang bupati, niatnya langsung terhenti. Seorang petugas menghampiri dan menegur sopan namun tegas.
“Maaf, kak. Dak boleh duduk di sini. Arahan dari dalam, pindah ke samping, ya.”
Arman hanya tersenyum getir dan melangkah perlahan.
“Berarti rakyat cuma boleh bayar pajak, tapi gak boleh duduk di hasilnya,” katanya pelan, menahan kecewa.
Kalimat itu mungkin terdengar ringan, tapi sarat makna.
Sebuah kursi yang seharusnya menjadi simbol kenyamanan publik justru menjelma pembatas antara kekuasaan dan rakyatnya.
Kursi empuk itu berdiri gagah di depan ruang pemimpin daerah, namun rakyat dilarang sekadar menyentuhnya.
Penelusuran terhadap sejumlah regulasi menunjukkan tak ada satu pun aturan resmi yang melarang warga, tamu, atau wartawan duduk di ruang tunggu kepala daerah.
Baik dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan, maupun dalam berbagai Peraturan Bupati OKU Timur, tidak ditemukan dasar hukum untuk larangan tersebut.
Artinya, kebijakan semacam itu hanyalah “perintah dari dalam” instruksi tak tertulis yang muncul dari kultur kekuasaan, bukan dari regulasi.
Namun ironisnya, aturan tak tertulis semacam ini sering kali lebih ditaati daripada undang-undang.
Sofa yang dibeli dari uang rakyat itu kini menjadi simbol kecil jarak sosial di kantor pemerintahan.
Ia bukan lagi tempat rakyat beristirahat, melainkan pajangan yang menandakan siapa yang boleh dan tidak boleh menikmati kenyamanan di rumah rakyat sendiri.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini bukan sekadar tentang kursi. Ia adalah cermin kecil bagaimana kekuasaan kadang menciptakan batas yang halus tapi terasa.
Di kantor pemerintahan yang mestinya terbuka bagi rakyat, kenyamanan justru menjadi barang eksklusif.
Dan di antara sofa empuk dan rakyat yang berdiri, terselip pesan getir: pelayanan publik belum sepenuhnya berpihak pada publik. (*)